Sel hidrogen semakin populer sebagai solusi energi bersih di masa depan. Teknologi ini mengubah hidrogen menjadi listrik melalui reaksi kimia, tanpa emisi berbahaya. Banyak yang penasaran, bagaimana sel hidrogen bisa jadi alternatif bahan bakar fosil? Dibanding sumber energi lain, hidrogen punya kelebihan seperti efisiensi tinggi dan ramah lingkungan. Tapi, produksinya lewat elektrolisis masih jadi tantangan. Artikel ini bakal bahas cara kerja sel hidrogen, keunggulannya, plus peluang pengembangannya. Buat yang tertarik dengan energi terbarukan, simak sampai habis!
Baca Juga: Mobil Listrik Solusi Transportasi Ramah Lingkungan
Apa Itu Sel Hidrogen dan Bagaimana Cara Kerjanya
Sel hidrogen adalah perangkat yang mengubah energi kimia dari hidrogen menjadi listrik melalui reaksi elektrokimia. Intinya, ia bekerja seperti baterai, tapi bedanya, sel hidrogen terus menghasilkan listrik selama ada pasokan hidrogen dan oksigen. Prinsip dasarnya mirip dengan elektrolisis terbalik, di mana hidrogen (H₂) di anoda teroksidasi jadi proton dan elektron, sementara oksigen (O₂) di katoda bereaksi membentuk air (H₂O).
Prosesnya dimulai saat hidrogen dialirkan ke anoda. Di sana, katalis (biasanya platinum) memecah hidrogen menjadi proton (H⁺) dan elektron (e⁻). Proton melewati membran pertukaran proton (PEM), sementara elektron mengalir lewat sirkuit eksternal—inilah yang menghasilkan arus listrik. Di katoda, proton, elektron, dan oksigen bergabung membentuk air sebagai satu-satunya hasil sampingan.
Keunggulan sel hidrogen? Efisiensinya bisa mencapai 60% (lebih tinggi dari mesin pembakaran internal) dan nol emisi. Tapi, tantangannya ada di produksi hidrogen itu sendiri. Saat ini, sebagian besar hidrogen dibuat dari gas alam lewat proses reforming metana, yang masih menghasilkan CO₂. Alternatifnya adalah elektrolisis air pakai listrik dari sumber terbarukan—metode lebih bersih tapi masih mahal.
Singkatnya, sel hidrogen punya potensi besar sebagai energi bersih, tapi butuh inovasi untuk bikin produksi hidrogennya lebih efisien dan ramah lingkungan.
Baca Juga: Dampak Lingkungan dan Efisiensi Energi Mobil
Keunggulan Bahan Bakar Hidrogen Dibanding BBM
Bahan bakar hidrogen punya sejumlah kelebihan dibanding BBM fosil, mulai dari efisiensi hingga dampak lingkungan. Pertama, hidrogen punya nilai energi per massa tertinggi—sekitar tiga kali lebih banyak daripada bensin. Artinya, dengan berat yang sama, hidrogen bisa menghasilkan lebih banyak tenaga. Plus, sel hidrogen punya efisiensi konversi energi 40-60%, sementara mesin bensin cuma sekitar 20-30%.
Dari sisi lingkungan, hidrogen jelas juara. Saat digunakan di sel bahan bakar, satu-satunya emisi yang dihasilkan adalah air murni (H₂O). Bandingkan dengan BBM yang melepas CO₂, NOx, dan partikel berbahaya. Menurut International Energy Agency (IEA), beralih ke hidrogen bisa mengurangi emisi karbon di sektor transportasi dan industri secara signifikan.
Hidrogen juga fleksibel. Bisa diproduksi dari berbagai sumber, termasuk energi terbarukan lewat elektrolisis air. Berbeda dengan BBM yang bergantung pada cadangan minyak terbatas. Bahkan, hidrogen bisa disimpan dalam bentuk cair atau gas untuk digunakan saat dibutuhkan—cocok untuk stabilisasi grid listrik.
Tapi, tantangan terbesarnya adalah infrastruktur. Stasiun pengisian hidrogen masih jarang, dan produksi hidrogen hijau (dari energi terbarukan) belum semurah BBM. Meski begitu, dengan perkembangan teknologi, hidrogen berpotensi jadi game changer di dunia energi bersih.
Baca Juga: Manfaat Madu: Penguatan Kesehatan dengan Emas Alam
Proses Elektrolisis dalam Produksi Hidrogen
Elektrolisis adalah metode kunci untuk memproduksi hidrogen bersih dengan memecah air (H₂O) menjadi hidrogen (H₂) dan oksigen (O₂) menggunakan listrik. Proses ini terjadi dalam sebuah sel elektrolisis yang terdiri dari dua elektroda (anoda dan katoda) yang direndam dalam larutan elektrolit—biasanya air dengan tambahan NaOH atau KOH untuk meningkatkan konduktivitas.
Saat arus listrik dialirkan, molekul air terurai di katoda menghasilkan gas hidrogen dan ion OH⁻. Reaksinya: Katoda: 2H₂O + 2e⁻ → H₂↑ + 2OH⁻ Sementara di anoda, ion OH⁻ teroksidasi menjadi oksigen: Anoda: 4OH⁻ → O₂↑ + 2H₂O + 4e⁻
Menurut U.S. Department of Energy, efisiensi elektrolisis modern mencapai 70-80% jika menggunakan listrik dari sumber terbarukan seperti tenaga surya atau angin. Teknologi seperti PEM electrolyzers (Proton Exchange Membrane) bahkan lebih efisien karena bisa beroperasi pada densitas arus tinggi dan tekanan hingga 700 bar.
Tantangannya? Biaya. Listrik masih jadi komponen utama harga produksi—sekitar 60-70% dari total biaya. Tapi dengan turunnya harga energi terbarukan dan skala produksi, IEA memprediksi biaya hidrogen hijau bisa turun 30% pada 2030.
Elektrolisis juga punya keunggulan modular. Berbeda dengan steam reforming yang butuh pabrik besar, elektroliser bisa dipasang di mana saja—bahkan di lokasi terpencil dengan sumber energi terbarukan melimpah. Ini membuka peluang produksi hidrogen lokal yang berkelanjutan.
Baca Juga: Subsidi Panel Surya dan Insentif Pemerintah
Aplikasi Sel Hidrogen di Kehidupan Sehari-hari
Sel hidrogen sudah mulai dipakai di berbagai bidang, meski belum masif. Yang paling mencolok adalah transportasi. Mobil listrik berbahan bakar hidrogen seperti Toyota Mirai atau Hyundai Nexo bisa menempuh 500-600 km dengan sekali isi—lebih cepat pengisiannya dibanding baterai lithium. Bahkan, kereta hidrogen seperti Coradia iLint di Jerman sudah beroperasi secara komersial sejak 2018.
Di sektor energi, sel hidrogen dipakai sebagai backup power. Rumah sakit dan pusat data di Jepang menggunakan sistem Ene-Farm yang menggabungkan sel hidrogen dengan panel surya untuk pasokan listrik darurat. Bahkan, Google dan Apple mulai uji coba sel hidrogen sebagai cadangan energi untuk server mereka.
Hidrogen juga masuk ke perangkat portabel. Drone bertenaga hidrogen seperti Doosan Mobility Innovation bisa terbang 2 jam nonstop—cocok untuk pemantauan jarak jauh. Beberapa produsen laptop juga eksperimen dengan sel hidrogen mini sebagai pengganti baterai tradisional.
Tak ketinggalan, industri berat mulai memanfaatkannya. Forklift hidrogen di gudang Amazon dan Walmart sudah mengurangi emisi tanpa ganggu performa. Bahkan, kapal feri hidrogen pertama di Norwegia beroperasi sejak 2021.
Meski belum murah, aplikasi sel hidrogen terus berkembang. Dari alat sehari-hari sampai infrastruktur besar, potensinya jelas: menggantikan bahan bakar fosil tanpa kompromi performa.
Baca Juga: Perbedaan Minyak Kelapa Murni dan Biasa
Tantangan Pengembangan Energi Hidrogen
Meski menjanjikan, hidrogen masih punya segudang rintangan sebelum jadi energi mainstream. Masalah terbesar? Biaya produksi. Hidrogen hijau (dari elektrolisis pakai energi terbarukan) masih 2-3 kali lebih mahal dibanding hidrogen "abu-abu" yang dihasilkan dari gas alam, menurut analisis BloombergNEF. Butuh listrik murah dari surya/angin dalam skala besar untuk menekan harga.
Infrastruktur juga jadi kendala. Transportasi dan penyimpanan hidrogen itu rumit—molekul H₂ sangat kecil sehingga mudah bocor, dan harus disimpan dalam tekanan 700 bar atau suhu -253°C (untuk bentuk cair). Saat ini, hanya segelintir negara seperti Jepang dan Jerman yang punya jaringan stasiun pengisian hidrogen memadai.
Teknologi sel bahan bakar sendiri masih perlu inovasi. Katalis platinum di dalamnya mahal dan langka. Penelitian untuk bahan alternatif seperti besi-nitrogen-karbon masih tahap lab. Belum lagi masalah durabilitas—sel hidrogen di mobil harus tahan getaran dan suhu ekstrem.
Regulasi pun belum siap. Standar keamanan untuk kebocoran hidrogen (yang mudah terbakar) berbeda tiap negara. Laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) menyebut butuh investasi $70 miliar per tahun hingga 2050 untuk atasi tantangan ini.
Singkatnya: hidrogen punya masa depan cerah, tapi butuh terobosan teknologi, pendanaan besar, dan kerja sama global untuk bikinnya layak secara ekonomi.
Baca Juga: Konservasi Lingkungan: Pemulihan dan Harapan
Perbandingan Hidrogen dengan Sumber Energi Lain
Hidrogen punya keunikan dibanding sumber energi lain, tapi juga punya trade-off. Dibanding baterai lithium, hidrogen unggul dalam kepadatan energi (120 MJ/kg vs 0.9 MJ/kg) dan waktu isi ulang (3-5 menit vs 30+ menit). Tapi efisiensi round-trip-nya lebih rendah—hanya 30-40% (dari listrik ke H₂ lalu kembali ke listrik), sementara baterai mencapai 90%, menurut analisis Fraunhofer Institute.
Ketimbang BBM fosil, hidrogen jelas lebih bersih (nol emisi saat digunakan) dan bisa diproduksi lokal. Tapi energi per volumenya kalah: 1 liter bensin setara dengan 4 liter hidrogen cair. Itu sebabnya mobil hidrogen butuh tangki besar atau tekanan ultra-tinggi.
Berhadapan dengan biogas, hidrogen lebih fleksibel aplikasinya (bisa untuk industri berat hingga pesawat), tapi produksinya lebih boros energi. Biogas langsung bisa dipakai dari limbah organik, sementara hidrogen hijau butuh listrik ekstra untuk elektrolisis.
Laporan MIT Energy Initiative menyebut hidrogen cocok untuk penyimpanan energi jangka panjang dan sektor "sulit dekarbonisasi" seperti pabrik semen. Sementara baterai lebih efisien untuk penggunaan harian.
Intinya: tak ada solusi tunggal. Hidrogen bukan pengganti, tapi pelengkap dalam transisi energi—unggul di bidang yang tak bisa diisi sumber lain.
Baca Juga: Analisis SWOT Lingkungan Bisnis Berkelanjutan
Masa Depan Industri Hidrogen di Indonesia
Indonesia punya potensi besar jadi pemain utama di pasar hidrogen global, tapi masih ada pekerjaan rumah berat. Dengan sumber energi terbarukan melimpah—mulai dari panas bumi (40% cadangan dunia) hingga tenaga surya—Indonesia bisa produksi hidrogen hijau secara kompetitif. Studi IRENA menyebut potensi produksi hidrogen dari PLTS di NTT saja bisa capai 3 juta ton/tahun.
Proyek percontohan sudah mulai bermunculan. Pertamina bekerja sama dengan Jepang mengembangkan hidrogen biru (blue hydrogen) di Kilang Cilacap, memanfaatkan cadangan gas alam dengan teknologi CCS. Sementara di Sulawesi, proyek green hydrogen berbasis PLTA Poso sedang dalam tahap studi kelayakan.
Tantangan utamanya ada di regulasi dan investasi. Harga hidrogen hijau di Indonesia masih sekitar $5-7/kg—lebih mahal dari batubara atau gas. Butuh insentif seperti tax holiday dan kemudahan impor teknologi untuk menarik investor. Laporan McKinsey menyarankan Indonesia fokus dulu pada pasar ekspor (Jepang, Korea) sebelum mengembangkan pasar domestik.
Peluang terbesar ada di sektor industri (pupuk, baja) dan transportasi laut. Pelabuhan seperti Tanjung Priok bisa jadi hub hidrogen untuk kapal-kapal internasional. Jika kebijakan dan teknologi sejalan, Indonesia bisa jadi pemasok hidrogen hijau terbesar di Asia Tenggara dalam 10-15 tahun mendatang.

Bahan bakar hidrogen menawarkan solusi energi bersih dengan potensi besar, dari transportasi hingga industri. Teknologinya sudah terbukti, tapi tantangan seperti biaya produksi dan infrastruktur masih perlu diatasi. Indonesia punya peluang menjadi produsen utama berkat sumber energi terbarukannya yang melimpah. Kedepannya, kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan riset akan menentukan seberapa cepat bahan bakar hidrogen bisa jadi alternatif nyata pengganti fosil. Yang pasti, transisi ini bukan soal "jika", tapi "kapan"—dan persiapannya harus dimulai sekarang.