Carbon capture adalah solusi inovatif untuk mengurangi emisi karbon yang jadi penyebab utama perubahan iklim. Teknologi ini bekerja dengan menangkap CO2 sebelum terlepas ke atmosfer, lalu menyimpannya atau menggunakannya kembali. Industri seperti pembangkit listrik dan pabrik semen bisa memanfaatkannya untuk kurangi dampak lingkungan. Meski belum sempurna, carbon capture menawarkan harapan besar dalam transisi menuju energi bersih. Beberapa negara sudah mulai menerapkannya, tapi masih ada tantangan seperti biaya tinggi dan infrastruktur pendukung. Artikel ini bakal bahas cara kerjanya, manfaat, serta peluang pengembangannya di masa depan.

Baca Juga: Sel Hidrogen dan Bahan Bakar Hidrogen Masa Depan

Apa Itu Carbon Capture dan Bagaimana Cara Kerjanya

Carbon capture adalah teknologi yang dirancang untuk menangkap emisi karbon dioksida (CO2) sebelum dilepaskan ke atmosfer. Proses ini biasanya dilakukan di sumber polusi utama seperti pembangkit listrik berbahan bakar fosil atau pabrik industri. Ada tiga metode utama: post-combustion capture (menangkap CO2 setelah pembakaran), pre-combustion capture (memisahkan CO2 sebelum pembakaran), dan oxy-fuel combustion (membakar bahan bakar dengan oksigen murni untuk memudahkan penangkapan CO2).

Setelah ditangkap, CO2 bisa disimpan di bawah tanah (geological storage) atau digunakan kembali (carbon utilization). Penyimpanan bawah tanah sering dilakukan di lapisan batuan porus atau bekas ladang minyak. Sementara pemanfaatan ulang bisa untuk bahan bakar sintetis, bahan bangunan, atau bahkan minuman berkarbonasi.

Menurut International Energy Agency (IEA), teknologi ini penting untuk mencapai target nol emisi karena bisa mengurangi hingga 90% CO2 dari sumbernya. Namun, tantangannya termasuk biaya tinggi dan kebutuhan infrastruktur seperti pipa untuk transportasi CO2. Beberapa proyek besar seperti Sleipner di Norwegia sudah berhasil menyimpan jutaan ton CO2 sejak 1996.

Meski belum sempurna, carbon capture tetap jadi salah satu solusi realistis untuk industri yang sulit beralih ke energi terbarukan. Perkembangan terbaru seperti Direct Air Capture (DAC) bahkan memungkinkan penangkapan CO2 langsung dari udara, bukan hanya dari cerobong pabrik. Teknologi ini masih mahal tapi terus dikembangkan oleh perusahaan seperti Climeworks.

Singkatnya, carbon capture bukan solusi ajaib, tapi alat penting dalam transisi energi bersih—terutama untuk sektor yang belum bisa sepenuhnya meninggalkan bahan bakar fosil.

Baca Juga: Mobil Listrik Solusi Transportasi Ramah Lingkungan

Manfaat Carbon Capture untuk Lingkungan

Carbon capture punya dampak besar bagi lingkungan karena langsung menargetkan akar masalah perubahan iklim: emisi CO2. Teknologi ini bisa mengurangi polusi dari industri berat seperti semen, baja, dan pembangkit listrik—sektor yang sulit dialihkan ke energi terbarukan. Menurut IPCC, carbon capture berpotensi memotong emisi global hingga 20% jika diterapkan secara luas.

Salah satu manfaat terbesarnya adalah mencegah CO2 masuk ke atmosfer, yang berarti memperlambat pemanasan global. Proyek seperti Boundary Dam di Kanada membuktikan bahwa teknologi ini bisa mengurangi emisi pembangkit batu bara hingga 90%. Selain itu, CO2 yang ditangkap bisa disimpan permanen di bawah tanah atau digunakan untuk Enhanced Oil Recovery (EOR), meski yang terakhir masih kontroversial karena tetap mendukung industri fosil.

Carbon capture juga membantu memperbaiki kualitas udara dengan mengurangi polutan sampingan seperti sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Global CCS Institute mencatat bahwa proyek carbon capture di China dan AS telah menurunkan polusi udara lokal sekaligus emisi karbon.

Manfaat lain yang sering diabaikan adalah dukungan untuk ekonomi sirkular. CO2 hasil tangkapan bisa diolah menjadi bahan baku untuk beton rendah karbon, plastik, bahkan bahan bakar sintetis. Perusahaan seperti CarbonCure mengubah CO2 menjadi aditif untuk beton, mengurangi jejak karbon industri konstruksi.

Meski bukan solusi tunggal, carbon capture memberi kita waktu untuk beralih ke energi bersih tanpa membebani atmosfer dengan CO2 berlebih. Teknologi ini terutama berguna sebagai jembatan transisi sambil menunggu inovasi energi terbarukan matang sepenuhnya.

Baca Juga: Subsidi Panel Surya dan Insentif Pemerintah

Teknologi Terbaru dalam Menangkap Emisi Karbon

Teknologi carbon capture terus berkembang dengan inovasi yang membuatnya lebih efisien dan terjangkau. Salah satu terobosan terbaru adalah Direct Air Capture (DAC), yang menyedot CO2 langsung dari udara, bukan hanya dari cerobong pabrik. Perusahaan seperti Climeworks dan Carbon Engineering sudah membangun pabrik DAC skala komersial, meski biayanya masih tinggi—sekitar $600 per ton CO2.

Metode cryogenic carbon capture juga menarik karena membekukan gas buang untuk memisahkan CO2 dalam bentuk padat. Teknologi ini dikembangkan oleh SustainRNG dan bisa lebih hemat energi dibandingkan solusi tradisional. Sementara itu, metal-organic frameworks (MOFs)—material berpori super kecil—menjanjikan penangkapan CO2 yang lebih selektif. Penelitian dari UC Berkeley menunjukkan MOFs bisa menyerap CO2 3x lebih efisien daripada metode konvensional.

Di sektor penyimpanan, mineralisasi CO2 jadi tren baru. Alih-alih menyimpan gas di bawah tanah, CO2 diubah menjadi mineral stabil seperti karbonat melalui reaksi kimia dengan batuan basalt. Proyek CarbFix di Islandia telah membuktikan konsep ini bekerja dengan menyuntikkan CO2 ke dalam batuan vulkanik.

Teknologi bioenergy with carbon capture (BECCS) juga mulai dilirik. Sistem ini menggabungkan pembakaran biomassa dengan carbon capture, menciptakan energi sekaligus menghasilkan emisi negatif. Drax Group di Inggris menjadi pelopor dalam uji coba BECCS skala besar.

Terakhir, penggunaan AI dan machine learning membantu mengoptimalkan proses carbon capture dengan menganalisis data emisi secara real-time. Startup seperti Carbon Clean memanfaatkan algoritma untuk mengurangi biaya operasional.

Dari DAC hingga mineralisasi, inovasi ini menunjukkan bahwa carbon capture bukan lagi teknologi kuno—tapi solusi dinamis yang terus beradaptasi dengan kebutuhan iklim global.

Baca Juga: Dampak Lingkungan dan Efisiensi Energi Mobil

Peran Carbon Capture dalam Transisi Energi Bersih

Carbon capture berperan sebagai jembatan kritis dalam transisi energi bersih, terutama untuk industri yang belum bisa 100% beralih ke energi terbarukan. Sektor seperti semen, baja, dan petrokimia menyumbang 30% emisi global—dan sulit didekarbonisasi sepenuhnya tanpa teknologi ini. IEA menyebut carbon capture sebagai salah satu dari "empat pilar" untuk mencapai net-zero emissions, bersama energi terbarukan, efisiensi energi, dan elektrifikasi.

Salah satu kontribusi utamanya adalah memungkinkan penggunaan bahan bakar fosil dengan emisi minimal selama masa transisi. Proyek seperti Quest di Kanada menunjukkan bagaimana carbon capture bisa diterapkan di kilang minyak untuk mengurangi jejak karbon tanpa menghentikan operasi sepenuhnya. Ini penting karena banyak negara masih bergantung pada infrastruktur energi fosil yang belum siap digantikan.

Carbon capture juga mendukung pengembangan hidrogen biru—hidrogen dari gas alam yang emisinya ditangkap. BP memperkirakan hidrogen biru akan jadi bahan bakar transisi penting sebelum hidrogen hijau (dari energi terbarukan) menjadi lebih terjangkau.

Di sisi lain, teknologi ini melindungi lapangan kerja di industri tradisional sambil membuka peluang baru. Global CCS Institute mencatat bahwa proyek carbon capture menciptakan ribuan pekerjaan dalam konstruksi dan operasional, sekaligus memberi waktu bagi pekerja energi fosil untuk beralih ke sektor hijau.

Yang paling menarik, carbon capture memungkinkan emisi negatif bila dikombinasikan dengan bioenergi (BECCS). Fasilitas seperti Drax Power Station di Inggris tidak hanya mengurangi CO2, tapi aktif menghilangkannya dari atmosfer—sesuatu yang tak bisa dicapai panel surya atau angin saja.

Singkatnya, carbon capture bukan pengganti energi terbarukan, tapi mitra penting yang membuat transisi energi lebih realistis dan adil secara ekonomi. Tanpanya, target iklim global akan jauh lebih sulit dicapai.

Baca Juga: Pencitraan Medis dan Dampak Lingkungannya

Tantangan dan Solusi Pengembangan Carbon Capture

Meski menjanjikan, carbon capture masih menghadapi beberapa tantangan besar. Biaya tinggi jadi masalah utama—rata-rata proyek CCS (Carbon Capture and Storage) membutuhkan investasi $60-100 per ton CO2 yang ditangkap. MIT Energy Initiative memperkirakan biaya harus turun di bawah $50/ton agar bisa bersaing dengan solusi iklim lainnya. Solusinya? Skala ekonomi. Semakin banyak proyek seperti Northern Lights di Norwegia dibangun, harga per ton akan turun melalui pembelajaran teknologi dan efisiensi.

Kebutuhan infrastruktur juga jadi kendala. Menyimpan CO2 membutuhkan jaringan pipa khusus dan lokasi geologis yang tepat—tak semua negara memilikinya. Solusi kreatif muncul seperti kapal pengangkut CO2 (seperti proyek CO2 Europipe) atau konversi CO2 menjadi produk bernilai tinggi melalui carbon utilization.

Isu kebijakan dan regulasi tak kalah pelik. Banyak negara belum memiliki kerangka hukum untuk penyimpanan CO2 jangka panjang. Namun, terobosan seperti tax credit 45Q di AS dan mekanisme Carbon Contracts for Difference (CCfD) di Inggris mulai memberi kepastian bagi investor.

Tantangan teknis seperti efisiensi energi proses penangkapan juga diatasi dengan inovasi material. Adsorben baru seperti MOFs dan solvent generasi ketiga bisa mengurangi energi yang dibutuhkan hingga 40%.

Yang sering dilupakan adalah penolakan masyarakat. Proyek seperti Barendrecht CCS di Belanda gagal karena kekhawatiran warga. Solusinya? Transparansi dan edukasi—seperti yang dilakukan Sleipner Project dengan melibatkan masyarakat sejak awal.

Terakhir, monitoring kebocoran disiasati dengan teknologi sensor canggih dan satelit seperti GHGSat yang bisa mendeteksi kebocoran CO2 hingga 25 kg/jam dari orbit.

Meski rumit, setiap tantangan punya solusi yang terus berkembang seiring kemajuan teknologi dan kolaborasi global. Carbon capture bukan jalan tanpa hambatan, tapi rintangannya semakin bisa diatasi.

Baca Juga: Tips Kesehatan Viral Untuk Gaya Hidup Sehat

Studi Kasus Implementasi Carbon Capture di Dunia

Berbagai proyek carbon capture di dunia membuktikan teknologi ini bisa bekerja di skala komersial. Salah satu yang paling sukses adalah Sleipner Project di Norwegia—operasi komersial pertama sejak 1996. Equinor menyuntikkan 1 juta ton CO2 per tahun ke lapisan batu pasir bawah laut, dan monitoring ketat selama 25 tahun membuktikan tidak ada kebocoran berarti.

Di Kanada, Boundary Dam 3 jadi pembangkit batu bara pertama yang memakai CCS skala penuh. SaskPower melaporkan proyek ini menangkap 90% emisi—sekitar 1 juta ton CO2 per tahun—meski sempat mengalami kendala teknis di awal operasi. Sementara itu, Quest CCS milik Shell di Alberta telah menangkap lebih dari 7 juta ton CO2 dari pengolahan minyak sejak 2015 dengan biaya 35% lebih rendah dari perkiraan.

Islandia memelopori pendekatan berbeda dengan CarbFix Project. CarbFix menginjeksi CO2 ke batuan basalt, dimana gas bereaksi dengan mineral dan mengeras menjadi batu dalam kurang dari 2 tahun—solusi penyimpanan permanen yang inovatif.

Di Timur Tengah, Al Reyadah di Abu Dhabi jadi proyek CCS pertama yang menangkap CO2 dari industri baja. Masdar melaporkan fasilitas ini berhasil memproses 800.000 ton CO2 per tahun untuk Enhanced Oil Recovery.

AS juga tak ketinggalan dengan Petra Nova di Texas—pembangkit batu bara dengan CCS terbesar dunia sebelum ditutup sementara tahun 2020. NRG Energy membuktikan teknologi ini bisa bekerja di skala 1,4 juta ton CO2 per tahun, meski profitabilitasnya masih dipertanyakan.

Yang paling ambisius adalah Northern Lights di Norwegia—proyek penyimpanan CO2 lepas pantai pertama yang akan menerima emisi dari seluruh Eropa mulai 2024. Northern Lights CCS menargetkan kapasitas 5 juta ton/tahun, dengan potensi ekspansi hingga 25 juta ton.

Dari proyek-proyek ini, pelajaran utamanya jelas: carbon capture bisa bekerja, tapi butuh desain yang matang, pendanaan stabil, dan dukungan regulasi yang kuat. Setiap kasus memberi wawasan berharga untuk percepat adopsi global.

Masa Depan Carbon Capture dalam Kebijakan Iklim

Carbon capture diprediksi akan jadi bagian kunci dalam kebijakan iklim global, terutama setelah Perjanjian Paris menegaskan kebutuhan teknologi emisi negatif. IPCC menyatakan bahwa tanpa carbon capture, biaya mencapai target 1.5°C akan 138% lebih tinggi. Beberapa negara sudah mulai mengintegrasikannya dalam strategi nasional—AS dengan Inflation Reduction Act 2022 yang meningkatkan tax credit CCS hingga $85/ton, dan Uni Eropa melalui Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang memberi insentif untuk industri rendah karbon.

Tren kebijakan ke depan kemungkinan akan fokus pada:

  1. Standarisasi perdagangan karbon untuk CCS, seperti yang sedang dikembangkan International Carbon Registry
  2. Mandatory CCS untuk industri tertentu—Norwegia sudah mewajibkan CCS di semua proyek gas lepas pantai baru
  3. Dukungan untuk Direct Air Capture, seperti program Carbon Removal Purchase Pilot di AS yang mengalokasikan $35 juta untuk pembelian emisi negatif

Sektor swasta juga mulai bergerak dengan inisiatif seperti First Movers Coalition yang berkomitmen membeli $500 juta teknologi iklim termasuk CCS. Perusahaan minyak besar seperti ExxonMobil mengusulkan "carbon capture hub" di Teluk Mexico dengan kapasitas 50 juta ton/tahun.

Tantangan kebijakan utama adalah menghindari greenwashing—memastikan CCS tidak jadi alasan untuk memperpanjang umur industri fosil. Pedoman seperti CCUS Guidelines dari IEA menekankan pentingnya transparansi dan batasan penggunaan CCS hanya untuk sektor yang sulit didekarbonisasi.

Masa depan carbon capture dalam kebijakan iklim akan ditentukan oleh tiga faktor: percepatan inovasi, mekanisme pendanaan berkelanjutan, dan kerangka regulasi yang ketat tapi adil. Jika ketiganya seimbang, teknologi ini bisa jadi pilar penting—bukan pengalih—dalam aksi iklim global.

teknologi bersih
Photo by Anton Pavlov on Unsplash

Carbon capture bukan solusi sempurna, tapi alat penting untuk memangkas emisi karbon dari industri yang sulit berubah. Teknologi ini terus berkembang—dari penangkapan langsung di pabrik hingga penyedotan CO2 dari udara—menawarkan fleksibilitas dalam transisi energi bersih. Tantangan biaya dan infrastruktur masih ada, tapi proyek global membuktikan CCS bisa bekerja di skala besar. Kuncinya adalah keseimbangan: memanfaatkan carbon capture tanpa menjadikannya alasan untuk mempertahankan status quo. Untuk mencapai target iklim, kita butuh kombinasi cerdas antara CCS, energi terbarukan, dan efisiensi—bukan bergantung pada satu solusi saja.

By sohu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *